Rabu, 14 Juli 2010

Menjadi Progresif dalam Keharmonisan*

Di tengah arus globalisasi yang menggila. Persaingan bisnis, kompetisi antar-rekan kerja, peningkatan karier. Maka, ada titik di mana kita kerap mengalami kejenuhan, di mana hal itu sering menyebabkan stres. Bila salah mengendalikan stres di tengah kepenatan hidup dan rutinitas kerja tersebut, bisa-bisa timpangnya keseimbangan hidup menjadi ancamannya.

Atau ketika kita memperbincangkan tentang masalah pengangguran, baik terdidik maupun bukan. Berapa banyak lulusan bangku kuliah dengan berbagai spesialisasi ragam keahlian, baik skill maupun teori, namun dalam tataran praktisnya tumpul dan menjadi anggota pengangguran baru. Unik memang, jika sebagian orang yang berhasil justru dilahirkan bukan dari bangku akademik. Lagi-lagi ada semacam persepsi bagaimana hal ini bisa terjadi dan kembali akan memicu tingkat stres seseorang dan kecemburuan sosial.

Masalah-masalah psikologis sampai sosial seperti di atas, apalagi masih didera oleh bangsa ini kiranya perlu ada shock therapy rohaniah. Intinya, ada ruang hampa yang tak terisi dan apabila dibiarkan kosong, mungkin yang terjadi adanya ketumpulan batin dalam menghadapi masalah. Kecerdasan spiritual menjadi kian kering dan terkubur dalam-dalam.

Kejenuhan dalam menghadapi realitas kehidupan yang serba hedonis serta mekanik itulah yang dicoba diulas untuk dijadikan pegangan sebagai transformasi perubahan diri. Menuju pada street wisdom (kearifan jalanan). Tentunya tidak mengabaikan smart street karena street wisdom merupakan bentuk keseimbangan dengan street smart.

Street wisdom dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada langkah-langkah pragmatik dan melupakan esensi dari tujuan kehidupan kita dengan keterkaitan secara langsung kepada Sang Pencipta.

Dalam diri yang stagnan enggan bergerak untuk maju dan terpaku pada rutinitas yang menyebabkan kita terjebak pada kegelisahan dan frustrasi, lebih-lebih bila sikap itu disertai dengan banyaknya kekecewaan yang datang bersamaan. Kekalahan kompetisi dan dan persaingan hidup yang semakin ketat memunculkan benak pada setiap orang pada kondisi tertentu untuk melakukan sesuatu yang dilakukan guna mendobrak kebekuan dalam hidup.

Defining moment merupakan istilah pemikiran manajemen, yakni suatu kondisi di mana terbersit munculnya kesadaran tinggi pada taraf tinggi atau klimaks dari proses yang panjang sebagai guna melakukan perubahan.

Contoh konkretnya ketika, misalnya, Ustaz Jefri Al-Bukhari menemukan defining moment-nya untuk mengubah cara berdakwah dari yang semula agresif menjadi lebih lemah lembut, setelah melihat feed back dari masyarakat. Bisa juga ketika remaja yang menemukan defining moment-nya setelah diolok-olok orang atau diputus cintanya. (hal 14)

Ketika defining moment sudah didapat, maka langkah selanjutnya adalah menemukan kunci tentang mengubah diri. Setidaknya ada lima kunci yang coba ditawarkan dalam buku tersebut. Pertama, kehendak yang kuat. Kedua, persyaratan, kualifikasi atau penilaian diri. Artinya, kita harus mampu mengukur potensi diri kita. Ketiga, tujuan atau sasaran di mana kita harus mampu menjadikan sasaran tersebut sebagai sesuatu yang sangat potensial dapat kita capai. Bukan sesuatu yang bersifat utopis atau khayalan. Keempat, menaati aturan (regulasi) yang mempunyai makna luas. Contoh konkretnya adalah ketika Anda ingin meraih prestasi karier maka Anda harus menaati regulasi agama, masyarakat, hukum seperti jangan menipu atau menzalimi seseorang. Kelima, adalah konstruktif evaluasi. Ada usaha untuk terus memperbaiki diri mana yang kurang, mana yang harus ditambah.

Tetapi, bagaimana usaha untuk merubah diri dan mencoba memahami lima kunci di atas tiba-tiba gagal atau belum berhasil. Padahal, sejatinya kegagalan mempunyai ragam variabel, baik dari internal maupun eksternal.

Sebagian orang kerap kali ketika mengahadapi kegagalan atau ketidakberhasilan menjadi patah arang, putus di tengah jalan dan akhirnya keluar (Quit). Namun, ada juga yang menyikapinya dengan sikap yang santai alias tidak mempelajari kegagalan tersebut dan berusaha kembali memformulasikannya kembali guna meraih kesuksesan (Camp). Jalan terbaik dalam mengatasi kegagalan adalah sikap mental yang mendorong kita untuk terus maju, mendaki tangga atau menjalani proses secara progresif (Climb).

Proses transformasi diri seperti di atas merupakan suatu keniscayaan. Dengan mengacu pada gerak yang selalu berorientasi maju, progresif. Namun, Moving Forward tersebut harus dalam keseimbangan dan keharmonisan (in Balance and Harmony). Mengapa demikian? Ibarat mobil yang terus dipacu tanpa mengindahkan batasan kecepatan. Padahal, di situ sudah ada rem dan kopling.

Kunci dari meraih keseimbangan tersebut adalah adanya keterhubungan kita dengan diri kita dan kemampuan kita untuk lebih sensitif dalam memaknai masalah. Cara lain adalah dengan menyadari kewajiban kita untuk memperjuangkan sesuatu kemudian memasrahkannya. (hal 70)

Hidup manusia bukanlah seperti hidupnya seekor tikus atau binatang lainnya. Manusia selalau berproses, mengaktualisasikan dirinya. Tak cuma sekadar itu, ada satu hal penting agar hidup lebih berkualitas, yakni bagaimana cara memaknai hidup agar lebih bermakna. Apalagi dalam konteks pekerjaan. Di tengah persaingan keras antarkompetitor. Tugas kantor bila dimaknai sebagai beban maka stres akan cepat muncul dan kualitas diri akan tidak berkembang, berbeda bila dimaknai sebagai tantangan, stres kerja tidak akan cepat muncul, juga kualitas hidup akan meningkat.

Begitu pun ketika kesuksesan harus dimaknai dengan berbagai dimensi. Agar tidak terjebak pada keegoisan dan jumawa. Alangkah lebih baik bila seorang direktur suatu perusahaan yang sedang dalam puncak kariernya melihat kesuksesan dalam dirinya justru tergantung pada anak buahnya, termasuk jasa seorang sopir. Setelah melihat perspektif tersebut, kesuksesan akan dimaknai lebih arif dan bijaksana.

Hal yang menarik dalam buku ini dibanding buku-buku motivator lainnya adalah merupakan pengalaman pribadi penulis buku tersebut. Jadi lebih terkesan tidak menggurui. Alur penulisannya pun enak. Seakan-akan pembaca buku diajak untuk berdialog. Selain itu, yang paling penting buku tersebut sangat mementingkan aspek ruhaniah spiritual. Sebagai inti dari moving forward in balance and harmony-nya.

Meskipun tidak bersifat universal karena lebih pada pendekatan Qur’ani saja. Namun, buku tersebut tetap layak bila dijadikan inspirasi guna meraih keseimbangan dan keharmonisan hidup, duniawi dan spiritual dengan jiwa yang progresif.

*) Resensi dipublikasikan di www.oase.kompas.com
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih
Penikmat buku, tinggal di Yogyakarta

0 komentar:

Follower

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP